Mereka tidak akan
menyantap jenis makanan yang tidak dimakan nenek moyang mereka. Mereka
juga tidak akan melakukan kebiasaan yang
dulunya tidak pernah dilakukan nenek moyang mereka. Kebiasaan mandi tidak menggunakan sabun masih berlangsung
hingga saat ini.
Tidak memakai sabun
mandi bukan berarti mereka tidak punya uang, tetapi benar-benar demi mengikuti
kebiasaan orangtua mereka. Kalau ada warga Baduy yang coba-coba memakai sabun
saat mandi dan sampai ketahuan, pasti mendapat teguran keras. Teguran ini bisa
berujung pada pemecatan sebagai warga Baduy Dalam.
Akan tetapi, orang
Baduy adalah manusia biasa yang punya keinginan untuk sedikit berbeda. Ketika
di antara mereka berjalan-jalan menuju daerah lain atau bahkan hingga Jakarta
dengan berjalan kaki, ada juga yang ingin mencoba minuman Sprite atau
Coca-Cola.
Ketika Kompas mengajak
beberapa warga Baduy Dalam berjalan-jalan hingga ke Rangkasbitung, di tengah
jalan mereka haus. Saat ditawari minum, mereka ternyata memilih minuman
Coca-Cola di kotak minuman pinggir jalan. Coca- Cola adalah jenis minuman yang
tidak dikenal kakek-nenek mereka.
“Saya pernah makan di
McDonaldÆs,” tutur Jakri (29), salah seorang warga Baduy Dalam. Makan di
restoran waralaba dari Amerika Serikat itu rasanya bukan hal yang aneh, namun
terasa janggal untuk Jakri yang berasal dari Kampung Cibeo, Kecamatan
Leuwidamar.
Masyarakat Baduy hidup
dengan aturan adat yang ketat. Di Baduy Dalam, pikukuh atau aturan adat adalah
harga mati yang tidak bisa ditawar. Hal ini berbeda dengan Baduy Luar yang
masih memperbolehkan naik kendaraan. Meskipun melihat berbagai barang
berteknologi yang dibawa oleh wisatawan, masyarakat Baduy Dalam masih
mempertahankan adat mereka.
Mereka masih “setia”
berjalan kaki, mengedepankan kejujuran, menolak mencemari lingkungan (tanah dan
air), dan tidak merokok. Baduy Dalam menerapkan adat lebih ketat dibandingkan
dengan BaduyLuar.
Salah satu
perbedaannya, warga Baduy Luar diperbolehkan berkendaraan. Menurut Jaro
Cikeusik, Alim, apa yang dibawa masyarakat luar-sepanjang tidak bertentangan
dengan adat-tidak memengaruhi kehidupan masyarakat Baduy Dalam. Jaro Alim
menegaskan, adat yang dilanggar diyakini bisa menyebabkan bencana alam dan
mengundang berbaga ipenyakit.
Suku Baduy sering
disebut urang Kanekes. Mereka tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak, Banten. Desa ini berada sekitar 38 km dari ibu kota Kabupaten
Lebak, Rangkasbitung, atau sekitar 120 km dari Jakarta. Desa Kanekes memiliki
56 kampungBaduy.
Orang Baduy Dalam
tinggal di Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Sedangkan orang Baduy Luar
tinggal di 53 kampung lainnya. Kampung Baduy Luar sering disebut kampung
panamping atau pendamping, yang berfungsi menjaga Baduy Dalam.
Untuk menuju Baduy
Dalam, pengunjung bisa naik mobil dari Rangkasbitung ke terminal Ciboleger atau
menyewa sampai ke Cijahe,lalu diteruskan dengan berjalan kaki untuk sampai ke
kampung Baduy Dalam
Dalam keseharian, kaum
lelaki dari Baduy Dalam menggunakan ikat kepala putih. Kecuali pu’un atau
pemimpin adat, para lelaki menggunakan baju hitam dan sarung selutut berwarna
biru tua bercorak kotak-kotak. Kaum perempuan menggunakan sarung batik biru,
kembenbiru, baju luar putih berlengan panjang. Gadis gadis menggunakan gelang
dan kalung dari manik.
Lelaki dari Baduy Luar
menggunakan ikat kepala biru bermotif batik. Perempuannya menggunakan kain
batik dan baju biru tua atau hitam. Namun, banyak juga di antara mereka berkaus
dan bercelana jins.
Menurut Yuli (33),
warga Baduy Luar, dalam sebulan ratusan orang datang ke Baduy. Mereka berlatar
belakang pendidikan, ekonomi, dansosial yang beragam. Interaksi warga Baduy
dengan masyarakat lain menyebabkan perubahan gaya hidup warga Baduy.
Menurut pakar budaya
dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI, Prof Dr Ayatrohaedi (65), perubahan
pada suatu masyarakat tidak dapat dihalangi. Adat tak dapat berbuat banyak
menghadapi perubahan. Adat sering kali hanya menerapkan peraturan, namun tidak
mampu menindak.
Kalau dulu masyarakat
Baduy cukup makan dengan nasi, ikan asin dan garam, kini mereka gemar makan mi
instan. Menurut Nasib (25), salah seorang pedagang makanan yang berkeliling
dari Baduy Luar hingga Baduy Dalam, rata-rata sepekan ia bisa menjual 10 kardus
atau400 bungkus mi instan.
Tak cuma mi instan,
menyantap spageti dengan sumpit pun tidak membuat mereka kikuk. Awal September
lalu, Narpa (45) dan dua anaknya, serta beberapa lelaki Baduy lahap menyantap
makanan Italia yang disajikan tamu dari Jakarta yang menginap di rumahnya. Hanya
istri Narpa saja yang mengaku tidak doyan.
Pergeseran selera makan
pun terjadi pada anak-anak. Jarmin (46), warga Kampung Cibeo, mengaku, di masa
anak-anak ia hanya memakan pisang bakar sebagai camilan. Kini ia harus
mengeluarkan Rp 10.000 untuk jajan tiga anaknya yang gemar camilan-camilan
dalam kemasan, permen, atau minuman kemasan.
Penjual makanan datang
dari luar Cibeo sebab masyarakat Baduy Dalam tidak diperkenankan berdagang oleh
adat. Peraturan adat hanya melarang masyarakat Baduy untuk makan daging
kambing, anjing, dan kucing serta minum sesuatu yang memabukkan. Aturan ini
menyebabkan es lilin, minuman ringan (soft drink), susu,roti, dan makanan
ringan dengan mudah diterima masyarakat Baduy.
Jika bepergian ke kota,
orang Baduy Dalam biasa membawa oleh-oleh buah-buahan atau makanan yang tak ada
di kampungnya. “Habis enggak ada lagi yang boleh dibeli,” ungkap Sanif (25),
warga Baduy Dalam berambut gondrong yang biasa membawa jeruk, apel, anggur, dan
kelengkeng.
Di Jakarta, beberapa
kali mereka dijamu makan di restoran mewah oleh kenalannya. Jangan heran kalau
orang-orang Baduy Dalam bisa bercerita soal Toserba Sarinah atau Mal Pondok
Indah.
Pergaulan dengan dunia
luar membuat masyarakat Baduy bersentuhan dengan teknologi modern yang selama
ratusan tahun dilarang oleh adat. Seperti masyarakat lain, mereka menonton
televisi, menggunakan jam tangan, dan bahkan memiliki radio. “Kalau boleh beli
motor, mau juga sih punya,” kata Saliya (27) sambil tertawa.
Orang Baduy Luar maupun
Dalam kadang-kadang nonton televisi dirumah warga luar Baduy. Orang-orang Cibeo
menonton di Ciboleger yang jaraknya sampai 12 km. Sementara orang Baduy dari
Kampung Batu belah menonton ke Cijahe yang jaraknya 3 km.
“Kalau malam,
orang-orang Baduy datang dengan membawa obor untuk menonton televisi,” tutur
Acih, seorang warga Cijahe. “Nonton mah meunang. Mun boga tivi, teu meunang ku
adat,” ujar Kuenci (67), buruh tani yang mengatakan bahwa adat tidak melarang
mereka menonton, yangtidak diperbolehkan adalah memiliki televisi.
Kuenci selalu mampir
untuk menonton televisi sepulang bertani di Leuwidamar. Jumat (3/9) siang, ia
tengah menonton siaran berita, mengaku meski tak mengerti bahasa Indonesia,
tapi ia menyukai gambar-gambar bergerak di televisi.
Sanip (28) yang tiga
bulan lalu berganti status dari Baduy Dalam menjadi Baduy Luar pun sudah
menggunakan jam tangan. Begitu juga Saliya yang sejak lahir berstatus warga
Baduy Luar. “Jam ini dikasih teman tahun kemarin,” ucap Saliya. Ia mengaku
belajar membaca jam tangan selama setahun.
Buat Saliya dan Sanip,
fungsi jam tidak hanya sebagai penunjuk waktu, tetapi juga untuk “gaya-gayaan”.
Saliya yang berasal dari Kampung Kaduketug dan Sanip dari Kampung Balimbing
menanggalkan jam tangan sebelum masuk kampungnya.
“Tidak berani pake,
takut kena marah orang tua atau jaro,” kata Saliya, ayah dua anak ini. Jaro
adalah wakil dari pemimpin adat yang berhubungan langsung dengan warga. Jaro
terdapat di setiap kampong Baduy. Jaro berkedudukan di bawah pu’un.
Di Kampung Kaduketug
(Baduy Luar), banyak warga memiliki radio. Setiap sebulan sekali, jaro
memperingatkan warga agar selalu taat pada adat. “Sebetulnya sih takut. Tapi
jaro-nya juga punya,” kata Antiwin (26).
Tak cuma radio, Yuli
warga Baduy Luar bahkan sudah punya telepon seluler atau ponsel. Beberapa warga
Baduy Dalam, meski tak punya ponsel dan tak dapat baca-tulis, dapat menggunakan
telepon. Jangan kaget jika ada orang Baduy Dalam bilang, “Saya minta alamat dan
nomor HP kamu, ya.” “Saya suka telepon lewat wartel di Ciboleger. Tadinya
memangenggak kenal angkanya. Tetapi, disamakan saja antara
gambarnomorditelepondandicatatansaya,”ungkapJarmin.
Orang Baduy sehari-hari
berbahasa Sunda kasar. Bahasa yang dipakai mereka tidak mengenal tingkatan
bahasa atau pemakaian bahasa berdasarkan status sosial. Rasa hormat pada orang
lain tidak diperlihatkan lewat kata-kata khusus, tetapi lewat tingkah laku
mereka.
Adat mengharuskan
mereka berbahasa Sunda untuk mempertahankan kemurnian budaya masyarakat. Namun,
tak sulit menemukan orang Baduy yang bisa berbahasa Indonesia, terutama di
Baduy Luar. Mereka yang fasih berbahasa Indonesia biasanya orang-orang yang
sering bepergian ke kota.
Selain berbahasa
Indonesia, beberapa orang Baduy Dalam bisa pula menggunakan kata-kata berdialek
Betawi, bahkan mengeluarkan kosakata bahasa Inggris. “Temen saya yang tinggal
di Pondok Indah, Jakarta, punya istri orang Australia. Saya sering denger
mereka ngomong bahasa Inggris,” ujar Jakri menjelaskan dari mana ia mendapatkan
pengetahuan tentang bahasa Inggris.
Orang Baduy juga senang
bercanda, tetapi hanya dengan orang yang sudah dikenalnya. “Kalau belum kenal,
saya diam saja,” aku Sanif yang sering bercanda dan saling bertukar pengetahuan
bahasa Indonesia dengan teman-temannya. Sanif juga bisa berdialek Betawi karena
sering berdagang di Jakarta.
Berteman akrab dengan
orang Baduy Dalam tidak sulit karena orang-orang Baduy bersikap terbuka
terhadap orang asing. Ayatrohaedi membenarkan hal itu. Sewaktu ia datang ke
Baduy tahun 1967 dan tidak memiliki tempat menginap, seorang warga Baduy dengan
tulus menawari untuk menginap di rumahnya. (Y01/Y02/Y09/Y10/nas)
“Perubahan pada suatu
masyarakat tidak dapat dihalangi. Adat tak dapat berbuat banyak menghadapi
perubahan. Adat sering kali hanya menerapkan peraturan, namun tidak mampu
menindak.”
http://warungminum.wordpress.com/2008/05/27/masyarakat-baduy-yang-mengalami-perubahan/
http://geocorida.blogspot.com/2008/08/perubahan-budaya-masyarakat-baduy-1.html
0 comments:
Post a Comment